Pemikir muslim yang intens terhadap pembahasan akhlak adalah Al-Ghazali. Teori-teori etikanya terdapat dalam kitab Mizan al-‘Amal dan dalam karya etika religiusnya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam kitab-kitabnya ia menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang adalah “lukisan batinnya” karena adanya pembiasaan-pembiasaan yang mewujud kepada prilaku atau akhlak. Ia menjelaskan bahwa kepribadian manusia pada dasarnya dapat menerima pembentukan, tetapi lebih cenderung kepada kebaikan daripada kejahatan. Jika kemudian diri manusia membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya. Demikian juga sebaliknya jika membiasakan kebaikan, maka menjadi baiklah tingkah lakunya.
Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa akhlak yang baik dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.
Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat dibagi menjadi tiga jenis:
Sementara Ibnu Bajjah membagi perbuatan-perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebut “perbuatan-perbuatan manusia.”
Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seseorang yang terantuk batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia melempar batu itu. Kalau ia melemparnya dengan kesal karena batu itu telah melukainya, maka ini adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.
Kalau melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka ini adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh Ibnu Bajjah dalam bukunya.
Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, dan seorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena kekurangan ini timbul disebabakan ketundukannya kepada naluri.
Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa akhlak yang baik dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.
Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat dibagi menjadi tiga jenis:
- perbuatan moral, yang di atas tingkat hewan.
- perbuatan immoral, yang setingkat dengan hewan.
- perbuatan antimoral, yang dibawah tingkat hewan.
Sementara Ibnu Bajjah membagi perbuatan-perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebut “perbuatan-perbuatan manusia.”
Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seseorang yang terantuk batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia melempar batu itu. Kalau ia melemparnya dengan kesal karena batu itu telah melukainya, maka ini adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.
Kalau melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka ini adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh Ibnu Bajjah dalam bukunya.
Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, dan seorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena kekurangan ini timbul disebabakan ketundukannya kepada naluri.
Saya akan sangat senang jika ada komentar yang membangun, tetapi:
*Jangan komentar SPAM
*Jangan menanam link
*Jangan ada unsur sara, Fornografi dan memojokkan
Komentar yang melanggar akan dimasukkan kedalam daftar SPAM dan tidak akan diijinkan lagi.
Klik dan Copy Icon di bawah:
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100
By: Terwujud.com
Terima Kasih!!