Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat hissiyah (material indrawi), dan mukjizat yang bersifat ‘aqliyah (rasional).[1] Mukjizat nabi-nabi terdahulu semuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya, seperti perahu nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat; tidak terbakarnya nabi Ibrahim dalam kobaran api; tongkat nabi Musa yang berobah menjadi ular.
penyembuhan yang dilakukan nabi Isa atas izin Allah dan lain-lain. Semuanya bersifat material indrawi, terbatas pada lokasi tempat nabi tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Berbeda dengan mukjizat nabi Muhammad Saw, sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami oleh akal). Karena sifatnya yang demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.[2]
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum nabi Muhammad Saw., ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan nabi Muhammad Saw., yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi sebelum nabi Muhammad Saw., amat membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran mereka, bukti tersebut harus jelas dan terjangkau indra mereka. Tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Ini bukan berarti bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau melalui nabi Muhammad Saw. Keluarnya air dari celah jari-jari beliau, makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang beliau lontarkan kepada kaum musyrik dalam perang badar hingga menutupi pandangan mereka, dan lain-lain merupakan hal-hal luar biasa yang telah terjadi.[3]
Namun demikian dapat disimpulkan, Pertama, Bahwa mukjizat itu luar biasa dalam mengatasi segala persoalan manusia, tiada yang kuasa membuatnya, selain Allah menentukan ketentuan tersebut. Kedua, bahwa antara mukjizat nabi yang satu dengan lainnya adalah sama fungsinya, yaitu untuk memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya, disamping membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya.[4]
--------------------
[1]ِِِAl-Sayuti, al-Itqan…, h. 228.
[2]Shihab, Mukjizat…, h. 38-39.
[3]Ibid., h. 39-44.
[4]Muhammad al-Mutawalli al-Sya’rawi, Mukjizat al-Quran, terj. Muhammad Ali dan Abdullah, (Surabaya: Bungkul Indah, 1995), h. 2.
penyembuhan yang dilakukan nabi Isa atas izin Allah dan lain-lain. Semuanya bersifat material indrawi, terbatas pada lokasi tempat nabi tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Berbeda dengan mukjizat nabi Muhammad Saw, sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami oleh akal). Karena sifatnya yang demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.[2]
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum nabi Muhammad Saw., ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan nabi Muhammad Saw., yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi sebelum nabi Muhammad Saw., amat membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran mereka, bukti tersebut harus jelas dan terjangkau indra mereka. Tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Ini bukan berarti bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau melalui nabi Muhammad Saw. Keluarnya air dari celah jari-jari beliau, makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang beliau lontarkan kepada kaum musyrik dalam perang badar hingga menutupi pandangan mereka, dan lain-lain merupakan hal-hal luar biasa yang telah terjadi.[3]
Namun demikian dapat disimpulkan, Pertama, Bahwa mukjizat itu luar biasa dalam mengatasi segala persoalan manusia, tiada yang kuasa membuatnya, selain Allah menentukan ketentuan tersebut. Kedua, bahwa antara mukjizat nabi yang satu dengan lainnya adalah sama fungsinya, yaitu untuk memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya, disamping membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya.[4]
--------------------
[1]ِِِAl-Sayuti, al-Itqan…, h. 228.
[2]Shihab, Mukjizat…, h. 38-39.
[3]Ibid., h. 39-44.
[4]Muhammad al-Mutawalli al-Sya’rawi, Mukjizat al-Quran, terj. Muhammad Ali dan Abdullah, (Surabaya: Bungkul Indah, 1995), h. 2.
Saya akan sangat senang jika ada komentar yang membangun, tetapi:
*Jangan komentar SPAM
*Jangan menanam link
*Jangan ada unsur sara, Fornografi dan memojokkan
Komentar yang melanggar akan dimasukkan kedalam daftar SPAM dan tidak akan diijinkan lagi.
Klik dan Copy Icon di bawah:
:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100
By: Terwujud.com
Terima Kasih!!